Selasa, 11 Maret 2008

Pengertian tasawuf

PENGERTIAN TASAWUF

Dalam arti istilah tasawuf bisa disamakan dengan mistik, yaitu suatu sistem cara bagaimana orang ingin mencapai hubungan yang mesra dengan Tuhan Yang Maha kekal dan Maha Sempurna.[1] Agama manapun, apakah itu Islam, Kristen, Hindu, Budha, Yahudi dan lain sebagainya pasti mempunyai satu aspek yang disebut dengan aspek mistik (mistisisme). Annemarie Schimmel menyatakan bahwa mistik adalah arus besar kerohanian yang mengalir dalam semua agama.[2] Di dalam Islam aspek mistik itu dikenal dengan nama tasawuf atau sufisme. Pandangan seperti ini teguhkan oleh Harun Nasution yang menyatakan bahwa mistisisme dalam Islam diberi nama tasawuf, yang oleh para orientalis barat disebut dengan sufisme. Dengan demikian kata “sufisme” dalam istilah para orientalis barat khusus dipakai untuk menyebut mistisisme atau mistik Islam. Sufisme tidak pernah dipakai untuk menyebut mistisisme yang terdapat dalam agama-agama lain.[3] Oleh sebab itu sebutan tasawuf atau sufisme adalah sebutan yang bersifat khas, yang hanya diperuntukkan untuk menyebut aspek mistik (mistisisme) dalam agama Islam dan tidak untuk agama lain. Sehingga tidak ada tasawuf Kristen, tasawuf Hindu atau pun tasawuf Budha, karena bila disebut tasawuf pasti berkaitan dengan mistik Islam dan tidak untuk agama-agama tersebut.
Para penulis tasawuf memberikan pengertian yang berbeda-beda dalam mendefinisikan tasawuf. Menurut Abu Bakar Aceh tasawuf adalah mencari jalan untuk memperoleh kecintaan dan kesempurnaan rohani.[4] Harun Nasution menyatakan bahwa tasawuf adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan melalui pengasingan diri dan berkontemplasi.[5] Muhammad Abdul Haq Ansari menyatakan bahwa ketika Abu Husein An-Nuri ditanya tasawuf itu apa, beliau menjawab : tasawuf bukanlah gerak lahiri (rasm) atau pengetahuan (ilm), tetapi ia adalah kebajikan (khulq).[6] Al-Junaid menyatakan tasawuf adalah penyerahan dirimu kepada Allah, dan bukan untuk tujuan lain. Sedang Sahl Ibn Abdullah al-Tustari mengatakan tasawuf adalah makan sedikit , demi mencari damai dalam Allah SWT dan menarik diri dari pergaulan ramai.[7] Ma’ruf al-Kharkhi mengatakan tasawuf adalah memilih Tuhan dan berputus asa terhadap apa saja yang ada di tangan para makhluk.[8] Abu Muhammad al-Jurarai menyatakan bahwa tasawuf adalah masuk ke dalam budi menurut contoh yang ditinggalkan Nabi dan keluar dari budi yang rendah.[9]
Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa pengertian tasawuf itu sangat banyak dan beragam (tidak sama). Ibrahim Basyuni bahkan telah memilih 40 definisi tentang tasawuf yang diambil dari rumusan para ahli sufi yang hidup pada abad III, yaitu antara tahun 200-334 H.[10] Namun demikian, definisi itu tetap saja tidak mampu memberikan pengertian yang menyeluruh dan mewakili terhadap makna tasawuf. Dari berbagai pengertian tentang tasawuf yang mungkin sama dan tidak diperselisihkan adalah bahwa tasawuf itu adalah moralitas-moralitas yang berdasarkan Islam. Sebab itu Ibn al-Qayyim dalam Madarij al-Salikin, menyatakan bahwa tasawuf adalah moral. Tasawuf adalah semangat Islam, karena semua hukum Islam berdasarkan landasan moral.
Pertanyaan yang kemudian timbul adalah, mengapa definisi tentang tasawuf itu begitu banyak dan berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya ?. Menjawab pertanyaan ini Al-Taftazani mengemukakan pendapatnya. Menurut Al-Taftazani penyebabnya adalah karena : pertama, tasawuf atau mistisisme telah menjadi semacam milik bersama dari berbagai agama, filsafat dan kebudayaan, dalam berbagai kurun masa. Artinya definisi tentang tasawuf boleh jadi merupakan hasil dari proses persinggungan dari berbagai agama dan kebudayaan yang pernah berkembang dimana para pembuat definisi itu hidup. Kedua, dalam kenyataannya setiap sufi atau mistikus selalu berusaha mengungkapkan pengalamannya dalam kerangka ideologi dan pemikiran yang berkembang di tengah masyarakatnya, ini berarti ungkapan-ungkapannya itu tidak dapat terlepas dari kemunduran dan kemajuan kebudayaan zamannya sendiri.[11] Selain dua hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Al-Taftazani, ada penyebab lain mengapa definisi tentang tasawuf itu berbeda-beda, katakanlah ini sebab yang ketiga, yaitu karena pengertian tentang tasawuf yang diberikan oleh para ahli sufi itu adalah berdasarkan interpretasi pengalaman rohaniah yang mereka alami, padahal masing-masing orang mempunyai pengalaman yang berbeda-beda. Setiap orang yang menempuh jalan tasawuf, pasti akan mendapatkan pengalaman rohaniah yang tidak sama. Masing-masing orang akan menangkap pengalaman rohaniah itu sesuai dengan makna yang dirasakannya, oleh karena itu rasa rohaniah yang dialaminya itulah yang kemudian membingkai seseorang sufi untuk mendefinisikan tasawuf sesuai dengan apa yang dialaminya itu. Sangat wajar jika kemudian definisi itu berbeda-beda, karena tingkat rohaniah, pengalaman yang dirasakan dan kedalaman spiritual diantara mereka juga berbeda-beda.
Meskipun demikian, bila dipelajari tasawuf sebenarnya mempunyai karakteristik tertentu yang bida dikenali dari setiap prakteknya. Sebagian peneliti telah berusaha mendefinisikan karakteristik umum yang sama diantara berbagai kecenderungan tasawuf atau mistisisme. William James,[12] seorang ahli Ilmu Jiwa Amerika mengatakan bahwa secara umum kondisi-kondisi mistisisme selalu ditandai oleh empat karakteristik sebagai berikut :
1. Mistisisme (tasawuf) merupakan sustu kondisi pemahaman, sebab bagi para penempuhnya, ia merupakan kondisi pengetahuan serta dalam kondisi tersebut tersingkaplah hakikat realitas yang baginya merupakan ilham, dan bukan pengetahuan demonstratif.
2. Mistisisme (tasawuf) merupakan suatu kondisi yang mustahil dapat dideskripsikan atau dijabarkan. Sebab ia sewmacam kondisi perasaan (states of feeling) yang sulit diterangkan pada orang lain dalam detail kata-kata seteliti apapun.
3. Mistisisme merupakan kondisi yang cepat sirna (transiency). Dengan kata lain, ia tidak berlangsung lama tinggal pada diri sang sufi atau mistikus, tetapi ia menimbulkan kesan-kesan yang sangat kuat dalam ingatan.
4. Mistisisme merupakan suatu kondisi pasif (passivity). Dengan kata lain seseorang tidak mungkin menumbuhkan kondisi tersebut dengan kehendaknya sendiri. Sebab, dalam pengalaman mistisnya justru ia tampak seolah-olah tunduk dibawah sutu kekuatan suprenatural tang begitu menguasainya.

Karakteristik umum mistisisme sebagaimana diungkapkan oleh Willian James di atas, dapat dikatakan terdapat pada sebagian besar aliran mistis yang ada dalam semua agama. Meskipun agak serupa, Al-Taftazani telah mengidenfitifkasi beberapa karakteristik umum yang ada dalam tasawuf Islam (sufisme).[13] Menurutnya, tasawuf umumnya memiliki lima ciri yang bersifat psikis, moral dan epistemologi, yaitu sebagai berikut :
1. Tasawuf adalah peningkatan moral. Setiap tasawuf atau mistisisme memiliki nilai-nilai moral tertentu yang tujuannya untuk membersihkan jiwa dalam rangka merealisasikan nilai-nilai moral itu. Dengan sendirinya, dalam tasawuf memerlukan latihan-latihan fisik-psikis tertentu, serta pengekangan diri dari materialisme duniawi.
2. Pemenuhan fana (sirna) dalam realitas mutlak. Artinya dengan latihan-latihan fisik serta psikis yang ditempuhnya, akhirnya seorang sufi atau mistikus sampai pada kondisi kejiwaan tertentu, dimana dia tidak lagi merasakan adanya diri atau keakuannya. Bahkan dia merasa kekal abadi dalam Realitas Yang Tertinggi.
3. Pengetahuan intuitif langsung. Ini adalah norma dalam epistemologis. Apabila dengan filsafat, seseorang memahami realitas dengan metode-metode intelektual. Sementara kalau dia berkeyakinan atas terdapatnya metode lain bagi pemahaman hakikat realitas di balik persepsi inderawi dan penalaran intelektual, yang disebut dengan kasyf atau intuisi, maka dalam kondisi seperti ini dia disebut sebagai sufi atau mistikus. Intuisi menurut para ahli sufi bagaikan sinar kilat yang muncul dan perginya selalu tiba-tiba.
4. Kententraman atau kebahagiaan. Ini merupakan karakteristik khusus pada semua bentuk tasawuf atau mistisisme. Sebab tasawuf diniatkan sebagai penunjuk atau pengendali berbagai dorongan hawa nafsu, serta pembangkit keseimbangan psikis pada diri seorang sufi. Dengan sendirinya, maksud ini membuat sang sufi tersebut terbebas dari rasa takut dan merasa intens dalam kententraman jiwa , serta kebahagiaan dirinya pun terwujudkan .
5. Penggunaan simbol dalam ungkapan-ungkapan , yang dimaksud dengan penggunaan simbol ialah bahwa ungkapan-ungkapan yang dipergunakan para sufi ataupun mistikus itu biasanya mengandung dua pengertian. Pertama, pengertian yang ditimba dari harfiah kata-kata. Kedua, pengertian yang ditimba dari analisa serta pendalaman. Pengertian yang kedua ini hampir sepenuhnya tertutup bagi yang bukan sufi ataupun mistikus, dan sulit baginya untuk dapat memahami ucapan sufi atau mistikus, apalagi untuk dapat memahami maksud tujuan mereka. Sebab, tasawuf adalah kondisi-kondisi efektif yang khusus, yang mustahil dapat diungkapan dengan kata-kata. Dan ia bukan merupakan kondisi yang sama pada setiap orang. Setiap sufi punya cara tersendiri dalam mengungkapkan kondisi-kondisi yang mereka alami. Dengan demikian,tasawuf merupakan pengalaman yang subyektif.

Karakteristik tasawuf sebagaimana tersebut diatas hanya akan terjadi pada mereka yang benar-benar mendalami tasawuf secara sempurna. Dengan demikian, busa saja terjadi seorang sufi tidak secara keseluruhan mengalami semua karakteristik tersebut, namun juga bisa saja terjadi diantara mereka ada yang mengalami kesemuanya itu. Semua itu dikarenakan oleh karena tasawuf itu berkembang dan bersinggungan dengan perkembangan budaya dimana para sufi itu hidup. Di samping itu sebagai sebuah pengalaman rohani, maka masing-masing orang tentu memiliki tingkat pendalaman rohani yang berbeda – beda sesuai dengan apa yang mereka alami.
[1] Endang Saifudin Anshari, Wawasan Islam, Rajawali, Jakarta, 1991, hal.127.
[2] Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1986, hal. 2
[3] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme Dalam Islam, Bulan Bintang , Jakarta, 1992, hal.56
[4] Abu Bakar Aceh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Ramadhani, Solo, 1994, hal. 28
[5] Harun Nasution, Loc.Cit.
[6] Muhammad Abdul Haq Anshari, Merajut Tradisi Syari’ah Dengan Sufisme, Srigunting, Jakarta, 1997, hal.40
[7] Ibid, hal. 41
[8] Lihat dalam Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, Rajawali Pers, Jakarta, 1996, hal. 43
[9] Lihat dalam Barmawie Umarie, Sistematik Tasawuf, AB.Siti Sjamsijah, Solo, tt, hal. 10
[10] Lihat dalam Asmaran.AS, Pengantar Studi Tasawuf, Rajawali Pers, Jakarta, 1994, hal. 49
[11] Abu al-Wafa’ akl-Ghanimi Al-Taftazani , Madkhal Ila al-Tasawuf al-Islam, Edisi Indonesia : Sufi dari Zaman ke Zaman, Alih bahasa Ahmad Rafi’ Utsmani, Pustaka , Bandung, 1985, hal.1
[12] Willian James, The Varieties of Religiouse Experience, The Modern Library, New York, 1932, hal. 371-372
[13] Al-Taftazani, Op.Cit, hal.4-5

Tidak ada komentar: