Selasa, 11 Maret 2008

Asal Kata Tasawuf

Al-Qusyairi di dalam Al- Risalah al-Qusyairiyyah,[1] mengatakan bahwa para generasi pertama ( sahabat ) dan sesudahnya (tabi’in ) mereka lebih menyukai dan merasakannya sebagai penghormatan apabila mereka disebut sebagai sahabat. Pada saat itu istilah-istilah seperti ‘abid, nasik, zahid dan sufi belumlah dikenal dan belum populer bila dibandingkan dengan masa setelahnya. Dengan demikian, istilah-istilah seperti ‘abid, nasik, zahid dan kemudian sufi, yang digunakan untuk para ahli ibadah, baru dikenal setelah generasi sahabat dan tabi’in ini.
Tentang asal kata Tasawwuf ( ) yang berasal dari kata sufi ( ), terdapat beberapa pendapat yang berbeda. Diantaranya ada yang menganggap bahwa secara lahiriah sebutan tersebut hanya semacam gelar, sebab dalam bahasa Arab tidak terdapat akar katanya. “Menurut sejarah,orang yang pertama memakai kata sufi adalah seorang zahid atau asketik bernama Abu Hasyim Al-kufi di Irak (W.150 H ) .”[2] Harun Nasution,[3] mengemukakan lima teori mengenai asal kata sufi , teori-teori berikut menurutnya selalu dikemukakan oleh para penulis tasawuf, yaitu :
Pertama, kata tasawuf berasal dari kata Ahl al-Shuffah ( ), yaitu sebutan untuk orang-orang yang ikut pindah dengan Nabi dari Mekah ke Madinah, dan karena kehilangan harta, mereka berada dalam keadaan miskin tak mempunyai apa-apa. Mereka tinggal di masjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai pelana sebagai bantal. Pelana itu disebut shuffah. Inggrisnya Saddle Cushion dan kata sofa dalam bahasa Eropa berasal dari kata shuffah ( ). Walaupun mereka miskin para ahl-shuffah itu berhati baik dan mulia. Sifat tidak mementingkan keduniaan, miskin tetapi berhati baik dan berakhlak mulia itu adalah merupakan sifat-sifat kaum sufi.
Konon menurut cerita Ash-Shuffah sebagai sebuah tempat terjadi pada saat Kiblat Shalat digantikan dari Baitul Maqdis (Yerussalem) ke Ka’bah di Mekah. Sebagai akibat perubahan geografis tadi, tembok arah kiblat pertama menjadi di belakang tembok masjid Nabi. Kemudian Nabi memerintahkan supaya di atas tembok itu dibuat atap. Tempat itulah yang kemudian dikenal dengan sebutan Ash-Suffah, podium/bangku atau Azh-Zhillah, naungan, tetapi pada ketiga sudutnya tetap terbuka. Ibnu Jubair mengatakan bahwa Ash-Shufah merupakan rumah diujung Quba, dimana para ahl-Shuffah berdiam. Jumlah ahl-Shuffah itu bervariasi dari waktu ke waktu. Mereka bertambah saat delegasi berdatangan ke Madinah. Ketika orang asing itu pulang , jumlah merekapun otomatis berkurang. Jumlah penghuni permanen kira-kira 70 orang. Abu Nu’aim menyebut 52 nama dari mereka, beberapa diantaranya adalah : Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghiffari, Ka’ab bin Malik al-Anshari, Salman al-Farisi, Sa’id bin Amir bin Hadhim al-Jumahi, dan lain sebagainya.[4]
Kedua, kata tasawuf berasal dari kata Saf ( ), yaitu barisan dalam shalat. Sebagaimana halnya dengan orang yang shalat di saf pertama mereka akan mendapat kemuliaan dan pahala, demikian pula kaum sufi dimuliakan Allah dan diberi pahala.
Ketiga, kata tasawuf berasal dari kata Sufi ( ) dari dan yang artinya suci. Seorang sufi adalah orang yang disucikan dan kaum sufi adalah orang-orang yang telah mensucikan dirinya melalui latihan berat dan lama .
Keempat, kata tasawuf berasal dari Sophos kata Yunani yang berarti hikmat. Namun pendapat ini kurang begitu kuat. Orang sufi betul ada hubungannya dengan hikmat, hanya huruf s dalam sophos ditransliterasikan ke dalam bahasa Arab menjadi dan bukan , sebagai kelihatan dalam kata dari kata philosphia. Dengan demikian jika mengikut pendapat ini seharusnya sufi ditulis dengan dan bukan .
Kelima, pendapat yang mengatakan kata tasawuf berasal dari kata Suf ( ), yaitu kain yang dibuat dari bulu wol. Hanya kain wol yang dipakai kaum sufi adalah wol kasar dan bukan wol halus seperti sekarang. Memakai wol kasar di waktu itu adalah simbol kesederhanaan dan kemiskinan . Lawannya ialah memakai sutra, oleh orang-orang yang mewah hidupnya di kalangan pemerintahan. Kaum sufi sebagai golongan yang hidup sederhana dan dalam keadaan miskin, tetapi berhati suci dan mulia , menjauhi pemakaian sutra dan sebagai gantinya memakai wol kasar.
Pendapat lain tentang asal kata sufi , dikemukakan oleh Abu Bakar Aceh ,[5] yang mensitir pendapat Zaki Mubarak dalam kitabnya AT-Tsawwufu Islami fil Adab wal akhlak , yang membentangkan panjang lebar sejarah dan asal perkataan itu. Selain dari lima teori yang disebut Harun di atas ,ia juga mengemukakan teori lain tentang asal-usul kata tasawuf. Pendapat itu adalah pandangan yang mengatakan bahwa sufi berasal dari kata Ibn Sauf, yaitu sebuah istilah yang sudah cukup dikenal sebelum Islam sebagai gelar dari seorang anak Arab yang saleh yang selalu mengasingkan diri dekat Ka’bah guna mendekati Tuhannya bernama Ghaus bin Murr. Kata tasawuf konon juga berasal dari kata Sufah, yaitu istilah yang dipergunakan untuk nama surat Ijazah bagi orang yang naik haji.
Meskipun banyak teori/pendapat tentang asal-usul kata tasawuf, namun dari berbagai kajian ilmiah membuktikan bahwa semua pendapat di atas jauh dari tepat kecuali pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf itu berasal dari kata . Kebanyakan penulis tasawuf sependapat bahwa teori yang lebih tepat dan kuat adalah pendapat ini, yaitu bahwa kata sufi berasal dari kata suf atau bulu domba atau wol kasar . Pada masa awal perkembangan asketisisme, pakaian bulu domba atau wol kasar adalah simbol bagi para hamba Allah yang tulus dan asketis . Pendapat seperti ini sebagaimana dikatakan Al- Saraj al-Thusi, juga Ibn Kaldun, dan lain-sebagainya.
[1] Lihat dalam Abdul Karim Al-qusyairi, Al-Risalah al-Qusyairiyah, tanpa penerbit, Kairo, 1330 H, hal. 7-8
[2] Harun Nasution, Op. Cit, hal.56-57
[3] Ibid, hal. 57-58
[4] Untuk mempelajari lebih jelas tentang ahl-Shuffah ini bisa dilihat dalam Akram Dhiyauddin Umari, Madinan Society at the Time of the Prophet, dalam edisi Indonesia : Masyarakat Madani, Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi, alih bahasa : Mun’im A.Sirry, Gema Insani Pers, Jakarta, 1999, hal. 98-102
[5] Abu Bakar Aceh, Op.Cit, hal. 25

Pengertian tasawuf

PENGERTIAN TASAWUF

Dalam arti istilah tasawuf bisa disamakan dengan mistik, yaitu suatu sistem cara bagaimana orang ingin mencapai hubungan yang mesra dengan Tuhan Yang Maha kekal dan Maha Sempurna.[1] Agama manapun, apakah itu Islam, Kristen, Hindu, Budha, Yahudi dan lain sebagainya pasti mempunyai satu aspek yang disebut dengan aspek mistik (mistisisme). Annemarie Schimmel menyatakan bahwa mistik adalah arus besar kerohanian yang mengalir dalam semua agama.[2] Di dalam Islam aspek mistik itu dikenal dengan nama tasawuf atau sufisme. Pandangan seperti ini teguhkan oleh Harun Nasution yang menyatakan bahwa mistisisme dalam Islam diberi nama tasawuf, yang oleh para orientalis barat disebut dengan sufisme. Dengan demikian kata “sufisme” dalam istilah para orientalis barat khusus dipakai untuk menyebut mistisisme atau mistik Islam. Sufisme tidak pernah dipakai untuk menyebut mistisisme yang terdapat dalam agama-agama lain.[3] Oleh sebab itu sebutan tasawuf atau sufisme adalah sebutan yang bersifat khas, yang hanya diperuntukkan untuk menyebut aspek mistik (mistisisme) dalam agama Islam dan tidak untuk agama lain. Sehingga tidak ada tasawuf Kristen, tasawuf Hindu atau pun tasawuf Budha, karena bila disebut tasawuf pasti berkaitan dengan mistik Islam dan tidak untuk agama-agama tersebut.
Para penulis tasawuf memberikan pengertian yang berbeda-beda dalam mendefinisikan tasawuf. Menurut Abu Bakar Aceh tasawuf adalah mencari jalan untuk memperoleh kecintaan dan kesempurnaan rohani.[4] Harun Nasution menyatakan bahwa tasawuf adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan melalui pengasingan diri dan berkontemplasi.[5] Muhammad Abdul Haq Ansari menyatakan bahwa ketika Abu Husein An-Nuri ditanya tasawuf itu apa, beliau menjawab : tasawuf bukanlah gerak lahiri (rasm) atau pengetahuan (ilm), tetapi ia adalah kebajikan (khulq).[6] Al-Junaid menyatakan tasawuf adalah penyerahan dirimu kepada Allah, dan bukan untuk tujuan lain. Sedang Sahl Ibn Abdullah al-Tustari mengatakan tasawuf adalah makan sedikit , demi mencari damai dalam Allah SWT dan menarik diri dari pergaulan ramai.[7] Ma’ruf al-Kharkhi mengatakan tasawuf adalah memilih Tuhan dan berputus asa terhadap apa saja yang ada di tangan para makhluk.[8] Abu Muhammad al-Jurarai menyatakan bahwa tasawuf adalah masuk ke dalam budi menurut contoh yang ditinggalkan Nabi dan keluar dari budi yang rendah.[9]
Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa pengertian tasawuf itu sangat banyak dan beragam (tidak sama). Ibrahim Basyuni bahkan telah memilih 40 definisi tentang tasawuf yang diambil dari rumusan para ahli sufi yang hidup pada abad III, yaitu antara tahun 200-334 H.[10] Namun demikian, definisi itu tetap saja tidak mampu memberikan pengertian yang menyeluruh dan mewakili terhadap makna tasawuf. Dari berbagai pengertian tentang tasawuf yang mungkin sama dan tidak diperselisihkan adalah bahwa tasawuf itu adalah moralitas-moralitas yang berdasarkan Islam. Sebab itu Ibn al-Qayyim dalam Madarij al-Salikin, menyatakan bahwa tasawuf adalah moral. Tasawuf adalah semangat Islam, karena semua hukum Islam berdasarkan landasan moral.
Pertanyaan yang kemudian timbul adalah, mengapa definisi tentang tasawuf itu begitu banyak dan berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya ?. Menjawab pertanyaan ini Al-Taftazani mengemukakan pendapatnya. Menurut Al-Taftazani penyebabnya adalah karena : pertama, tasawuf atau mistisisme telah menjadi semacam milik bersama dari berbagai agama, filsafat dan kebudayaan, dalam berbagai kurun masa. Artinya definisi tentang tasawuf boleh jadi merupakan hasil dari proses persinggungan dari berbagai agama dan kebudayaan yang pernah berkembang dimana para pembuat definisi itu hidup. Kedua, dalam kenyataannya setiap sufi atau mistikus selalu berusaha mengungkapkan pengalamannya dalam kerangka ideologi dan pemikiran yang berkembang di tengah masyarakatnya, ini berarti ungkapan-ungkapannya itu tidak dapat terlepas dari kemunduran dan kemajuan kebudayaan zamannya sendiri.[11] Selain dua hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Al-Taftazani, ada penyebab lain mengapa definisi tentang tasawuf itu berbeda-beda, katakanlah ini sebab yang ketiga, yaitu karena pengertian tentang tasawuf yang diberikan oleh para ahli sufi itu adalah berdasarkan interpretasi pengalaman rohaniah yang mereka alami, padahal masing-masing orang mempunyai pengalaman yang berbeda-beda. Setiap orang yang menempuh jalan tasawuf, pasti akan mendapatkan pengalaman rohaniah yang tidak sama. Masing-masing orang akan menangkap pengalaman rohaniah itu sesuai dengan makna yang dirasakannya, oleh karena itu rasa rohaniah yang dialaminya itulah yang kemudian membingkai seseorang sufi untuk mendefinisikan tasawuf sesuai dengan apa yang dialaminya itu. Sangat wajar jika kemudian definisi itu berbeda-beda, karena tingkat rohaniah, pengalaman yang dirasakan dan kedalaman spiritual diantara mereka juga berbeda-beda.
Meskipun demikian, bila dipelajari tasawuf sebenarnya mempunyai karakteristik tertentu yang bida dikenali dari setiap prakteknya. Sebagian peneliti telah berusaha mendefinisikan karakteristik umum yang sama diantara berbagai kecenderungan tasawuf atau mistisisme. William James,[12] seorang ahli Ilmu Jiwa Amerika mengatakan bahwa secara umum kondisi-kondisi mistisisme selalu ditandai oleh empat karakteristik sebagai berikut :
1. Mistisisme (tasawuf) merupakan sustu kondisi pemahaman, sebab bagi para penempuhnya, ia merupakan kondisi pengetahuan serta dalam kondisi tersebut tersingkaplah hakikat realitas yang baginya merupakan ilham, dan bukan pengetahuan demonstratif.
2. Mistisisme (tasawuf) merupakan suatu kondisi yang mustahil dapat dideskripsikan atau dijabarkan. Sebab ia sewmacam kondisi perasaan (states of feeling) yang sulit diterangkan pada orang lain dalam detail kata-kata seteliti apapun.
3. Mistisisme merupakan kondisi yang cepat sirna (transiency). Dengan kata lain, ia tidak berlangsung lama tinggal pada diri sang sufi atau mistikus, tetapi ia menimbulkan kesan-kesan yang sangat kuat dalam ingatan.
4. Mistisisme merupakan suatu kondisi pasif (passivity). Dengan kata lain seseorang tidak mungkin menumbuhkan kondisi tersebut dengan kehendaknya sendiri. Sebab, dalam pengalaman mistisnya justru ia tampak seolah-olah tunduk dibawah sutu kekuatan suprenatural tang begitu menguasainya.

Karakteristik umum mistisisme sebagaimana diungkapkan oleh Willian James di atas, dapat dikatakan terdapat pada sebagian besar aliran mistis yang ada dalam semua agama. Meskipun agak serupa, Al-Taftazani telah mengidenfitifkasi beberapa karakteristik umum yang ada dalam tasawuf Islam (sufisme).[13] Menurutnya, tasawuf umumnya memiliki lima ciri yang bersifat psikis, moral dan epistemologi, yaitu sebagai berikut :
1. Tasawuf adalah peningkatan moral. Setiap tasawuf atau mistisisme memiliki nilai-nilai moral tertentu yang tujuannya untuk membersihkan jiwa dalam rangka merealisasikan nilai-nilai moral itu. Dengan sendirinya, dalam tasawuf memerlukan latihan-latihan fisik-psikis tertentu, serta pengekangan diri dari materialisme duniawi.
2. Pemenuhan fana (sirna) dalam realitas mutlak. Artinya dengan latihan-latihan fisik serta psikis yang ditempuhnya, akhirnya seorang sufi atau mistikus sampai pada kondisi kejiwaan tertentu, dimana dia tidak lagi merasakan adanya diri atau keakuannya. Bahkan dia merasa kekal abadi dalam Realitas Yang Tertinggi.
3. Pengetahuan intuitif langsung. Ini adalah norma dalam epistemologis. Apabila dengan filsafat, seseorang memahami realitas dengan metode-metode intelektual. Sementara kalau dia berkeyakinan atas terdapatnya metode lain bagi pemahaman hakikat realitas di balik persepsi inderawi dan penalaran intelektual, yang disebut dengan kasyf atau intuisi, maka dalam kondisi seperti ini dia disebut sebagai sufi atau mistikus. Intuisi menurut para ahli sufi bagaikan sinar kilat yang muncul dan perginya selalu tiba-tiba.
4. Kententraman atau kebahagiaan. Ini merupakan karakteristik khusus pada semua bentuk tasawuf atau mistisisme. Sebab tasawuf diniatkan sebagai penunjuk atau pengendali berbagai dorongan hawa nafsu, serta pembangkit keseimbangan psikis pada diri seorang sufi. Dengan sendirinya, maksud ini membuat sang sufi tersebut terbebas dari rasa takut dan merasa intens dalam kententraman jiwa , serta kebahagiaan dirinya pun terwujudkan .
5. Penggunaan simbol dalam ungkapan-ungkapan , yang dimaksud dengan penggunaan simbol ialah bahwa ungkapan-ungkapan yang dipergunakan para sufi ataupun mistikus itu biasanya mengandung dua pengertian. Pertama, pengertian yang ditimba dari harfiah kata-kata. Kedua, pengertian yang ditimba dari analisa serta pendalaman. Pengertian yang kedua ini hampir sepenuhnya tertutup bagi yang bukan sufi ataupun mistikus, dan sulit baginya untuk dapat memahami ucapan sufi atau mistikus, apalagi untuk dapat memahami maksud tujuan mereka. Sebab, tasawuf adalah kondisi-kondisi efektif yang khusus, yang mustahil dapat diungkapan dengan kata-kata. Dan ia bukan merupakan kondisi yang sama pada setiap orang. Setiap sufi punya cara tersendiri dalam mengungkapkan kondisi-kondisi yang mereka alami. Dengan demikian,tasawuf merupakan pengalaman yang subyektif.

Karakteristik tasawuf sebagaimana tersebut diatas hanya akan terjadi pada mereka yang benar-benar mendalami tasawuf secara sempurna. Dengan demikian, busa saja terjadi seorang sufi tidak secara keseluruhan mengalami semua karakteristik tersebut, namun juga bisa saja terjadi diantara mereka ada yang mengalami kesemuanya itu. Semua itu dikarenakan oleh karena tasawuf itu berkembang dan bersinggungan dengan perkembangan budaya dimana para sufi itu hidup. Di samping itu sebagai sebuah pengalaman rohani, maka masing-masing orang tentu memiliki tingkat pendalaman rohani yang berbeda – beda sesuai dengan apa yang mereka alami.
[1] Endang Saifudin Anshari, Wawasan Islam, Rajawali, Jakarta, 1991, hal.127.
[2] Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1986, hal. 2
[3] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme Dalam Islam, Bulan Bintang , Jakarta, 1992, hal.56
[4] Abu Bakar Aceh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Ramadhani, Solo, 1994, hal. 28
[5] Harun Nasution, Loc.Cit.
[6] Muhammad Abdul Haq Anshari, Merajut Tradisi Syari’ah Dengan Sufisme, Srigunting, Jakarta, 1997, hal.40
[7] Ibid, hal. 41
[8] Lihat dalam Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, Rajawali Pers, Jakarta, 1996, hal. 43
[9] Lihat dalam Barmawie Umarie, Sistematik Tasawuf, AB.Siti Sjamsijah, Solo, tt, hal. 10
[10] Lihat dalam Asmaran.AS, Pengantar Studi Tasawuf, Rajawali Pers, Jakarta, 1994, hal. 49
[11] Abu al-Wafa’ akl-Ghanimi Al-Taftazani , Madkhal Ila al-Tasawuf al-Islam, Edisi Indonesia : Sufi dari Zaman ke Zaman, Alih bahasa Ahmad Rafi’ Utsmani, Pustaka , Bandung, 1985, hal.1
[12] Willian James, The Varieties of Religiouse Experience, The Modern Library, New York, 1932, hal. 371-372
[13] Al-Taftazani, Op.Cit, hal.4-5

Minggu, 17 Februari 2008

Riligiusitas

RELIGIUSITAS

Masalah komitmen beragama atau religiusitas adalah masalah yang sangat individual dan pribadi. Meskipun demikian, menurut Glock dan Stark, religiusitas seseorang dapat dilihat dari lima dimensi (Lihat dalam Jalaluddin Rahmat, dalam Taufik Abdullah, 1989 : 93). Kelima dimensi itu adalah :
Ritual Involvement, yaitu tingkatan sejauhmana seseorang mengerjakan ritual di dalam agama yang dianutnya. Dimensi ritualistik merujuk pada ritus-ritus keagamaan yang dianjurkan oleh agama dan atau dilaksanakan oleh para pengikutnya. Dimensi ini meliputi pedoman-pedoman pokok pelaksanaan ritus dan pelaksanaan ritus tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Kita dapat meneliti frekuensi, prosedur, pola, sampai kepada makna ritus-ritus tersebut secara individual, sosial maupun kultural.
Ideological Involvement, yaitu tingkatan sejauhmana orang menerima hal-hal yang dogmatik di dalam agama mereka masing-masing. Dimensi ideologis berkenaan dengan seperangkat kepercayaan (beliefs) yang memberikan premis eksistensial untuk menjelaskan Tuhan, alam, manusia, dan hubungan diantara mereka. Kepercayaan ini dapat berupa makna yang menjelaskan tujuan Tuhan dan peranan manusia dalam mencapai tujuan itu. Kepercayaan akan adanya hari kiamat, malaikat, surga, neraka, dan lain-lain yang bersifat dogmatik.
Intellectual Involvement, yaitu seberapa jauh seseorang mengetahui tentang ajaran agamanya. Dimensi intelektual mengacu pada pengetahuan agama – apa yang tengah atau harus diketahui orang tentang ajaran-ajaran agamanya. Pada dimensi ini, penelitian dapat diarahkan untuk mengetahui seberapa jauh tingkat melek agama (religious literacy) para pengikut agama, atau tingkat ketertarikan mereka untuk mempelajari agamanya.
Experiential Involvement, yaitu dimensi yang berisikan pengalaman-pengalaman unik dan spektakuler yang merupakan kajaiban yang datang dari Tuhan. Dimensi eksperensial adalah bagian keagamaan yang bersifat afektif – yakni keterlibatan emosional dan sentimental pada pelaksanaan ajaran agama. Inilah perasaan keagamaan (religion feeling) yang dapat bergerak dalam empat tingkat : konfirmatif (merasakan kehadiran Tuhan atau apa saja yang diamatinya), responsif (merasakan bahwa Tuhan menjawab kehendaknya atau keluhannya), eskatik ( merasakan hubungan yang akrab dan penuh cinta dengan Tuhan), dan partisipatif ( merasa menjadi kawan setia kekasih , atau wali Tuhan dan menyertai Tuhan dalam melakukan karya Ilahiah).
Consequential Involvement, yaitu dimensi yang mengukur sejauh mana perilaku seseorang dimotivasikan oleh ajaran agamanya. Dimensi ini meliputi segala implikasi sosial dari pelaksanaan ajaran agama. Dimensi inilah yang menjelaskan apakah efek ajaran Islam terhadap etos kerja, hubungan interpersonal, kepedulian pada penderitaan orang lain, dan sebagainya.

Selasa, 05 Februari 2008

Selamat Datang

Saudaraku, selamat datang di blog saya, mudah-mudahan anda semua mendapatkan banyak informasi dari blog ini